Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Kamis, 01 Oktober 2009

insomnia brkurang

Malam lalu lagi-lagi tidur larut. Faktor kebiasaan. Cukup itu yang aku yakini saat ini. Aku mencoba sebisaku untuk bergegas lelap dalam tentram yang selalu disuguhkan malam. Tapi tak bisa, perhatianku terpaku pada sebuah novel yang sudah cukup lama sebenarnya mendekam di kamarku dan hanya sesekali aku sentuh. Sulit mengalihkan mata untuk terus berlari mengikuti setiap alur ceritanya yang makin menarik. Ah, insomniaku kumat lagi. Mungkin aku baru bisa terlelap sekitar pukul 2. Satu jam lebih cepat dari malam sebelumnya.

Keesokan paginya, yaitu hari ini, tak pelak kepalaku pening berat. Uhh ... hampir saja aku ambruk ketika tak sengaja menabrak pintu yang masih setengah menutup. Mataku berkunang-kunang. Tidak, ini hari pertama masuk sekolah, aku sungguh tak ingin melewatkannya, aku akan baik-baik saja, pikirku menyemangati diri. Ku sambar handuk dan melangkah pasti menuju kamar mandi. Air dingin sedikit menyegarkan tubuhku. Kepala yang terasa amat berat mulai meringan meski tidak sepenuhnya.

Selesai menyegarkan diri, aku duduk depan tipi. Menikmati sajian pagi. Semua keperluan sekolah sudah kusiapkan semalam, hanya sekedar antisipasi, karena ketakutan akan telat bangun pagi. Untungnya tidak. Pukul 6.30, tidak biasanya aku sudah berdandan rapi. Semangat sekali aku pagi ini. Baguslah...

Sampai di sekolah, entah kenapa aku merasa asing. Seakan dilempar waktu ke masa di mana aku pertama kali menjejakkan kaki di smantiara. Diantar ayah daftar ke sekolah yang memang jadi tujuanku sejak dulu. Ah, aku benar-benar merasa asing di sekolah yang menjadi tempatku menimba ilmu 2 tahun belakangan ini. Entahlah, mungkin perasaanku saja. Aku melangkah ragu memasuki pintu besar yang masih terbuka lebar. Semua sudah ramai di dalam sekolah. Hampir semuanya sibuk mengulurkan tangan diiringi kata permintaan maaf. Atmosfernya hangat.

Aku melanjutkan langkahku menaiki tangga menuju kelas. Masuk ke kelas, perasaan aneh itu masih menggelayuti benakku. Tapi aku tetap berusaha tutupi itu dengan bersikap sewajarnya. Semua berjalan normal sampai pada jam pelajaran ke-4. Jam istirahatpun semuanya masih baik-baik saja. Namun ketika bel kembali berdering dan menandakan itu waktunya bertempur dengan biologi, mendadak kepalaku pusing. Uhh ... sugesti. Sial! Kok bisa-bisanya aku punya sugesti aneh macam itu. Beberapa saat kemudian, setelah bel tak lama berdering nyaring, Papah [sebutan untuk guru biologiku] masuk k dalam kelas lengkap dengan buku-buku di tangan kanannya. Hupt.. aku mendesah. Mulai merasakan pusing yang makin menjadi. Papah memulai semuanya sama seperti guru-guru lainnya. Maaf-maafan. Dan berlanjut dengan pemberian materi tentang metabolisme. Aku tidak lagi hanya merasakan pusing, perutku mendadak mual. Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk bahwa mungkin di menit berikutnya aku akan kehilangan kesadaran, aku segera mencari sesuatu untuk mengalihkan perhatian dari pelajaran ini tanpa harus menarik perhatian seisi kelas.

Aku memutuskan untuk menulis –apapun- di note book milik my soulmate chair, Nia. Di sana, aku bercerita tentang betapa bencinya aku pada biologi yang efek nyatanya dapat terlihat dari beragam respon aneh secara fisiologis yang ditunjukkan oleh kondisi fisikku. Haha.. lucu mengingat aku kini terjebak dalam sebuah situasi di mana keadaan memaksaku bergelut dengan eksak yang sebenarnya aku hindari bahkan nyaris aku musuhi. Sungguh, aku membenci eksak seperti aku benci ungu, cicak, test, badut, hantu, banci ataupun kegelapan. Lebih menggelikan lagi waktu aku sadar bahwa beberapa bulan lalu aku mengikuti olimpiade untuk bidang biologi. Sebuah kenyataan yang berseberangan dengan perasaan. Tidak, itu tuntutan peran.

Sepanjang jam pelajaran biologi, aku mengutuki pelajaran itu di note book Nia sampai puas. Sama sekali perhatianku tidak sedikitpun terambil oleh pelajaran tentang ilmu hidup itu. Aku ambil pilihan tidak mengerti ketimbang kehilangan kesadaran karena mati bosan. Toh, aku masih bisa mempelajarinya di rumah meski kemungkinan itu hanya 0,001 % saja. Tapi aku punya sebuah pertanyaan, aku benci biologi atau pemberi materinya ya? Ah, tak penting juga ku pikirkan. Jawabannya ditemukan pun takkan memberikan efek yang signifikan. Lupakan pertanyaan bodoh tadi.

Bel pulang sekolah menghilangkan rasa pusing dan mual yang sudah sedikit berkurang sepeninggal ilmu hidup yang secara aneh tak aku sukai. Aku menuruni tangga. Bertemu sahabatku, Nisa di depan kelasnya. Mengobrol sebentar sebelum akhirnya memutuskan juga untuk pulang. Di depan sekolah, aku bertemu dengan seorang sahabatku yang lain, Hani, aku menyapanya, eh, dya malah curhat colongan tentang cinta lamanya. Aku tak mengerti dengan cinta, ada saja caranya membuat luka dan menyembuhkannya secara ajaib. Haha... curhat colongan tak berlangsung lama. Cinta baru Hani, sang penyembuh tiba dengan kuda [ yang sebenarnya motor, agar lebih dramatis, aku mengibaratkannya demikian] merahnya, siap mengantar Hani pulang k istananya. Hani pergi, aku sendiri. Dan secara tiba-tiba, “Ri, mau pulang?” tanya sebuah suara dari arah belakang punggungku. Sahabatku yang satu ini melayangkan senyumnya, Puni. Aku mengiyakan dan mengajaknya pulang bersama. Baru juga sampai diseberang jalan, Nisa datang menghampiri kami dan berkata, “ ngbaso yuuu?? Dah lama deh kita ga jalan bareng...”. aku dan puni menyambut ajakan itu dengan antusias. Meluncurlah kami menuju tukang baso langganan yang ternyata sudah pulang duluan. Akhirnya, destination berubah k baso mas darmin di ujung jalan persimpangan BRI alun-alun. Seperti biasa, acara makan baso berlangsung ricuh dengan derai tawa tiga orang gadis imut yang sesekali bicara berbisik. Di akhir acara makan baso, kami beralih topik k ekskul KIR yang mulai terbengkalai. Proyek kami dalam jangka pendek adalah buletin yang sebenarnya jadi tanggung jawabku sebagai divisi jurnalistik. Kami menyelesaikan konsepnya hari ini juga. Dan esok berjanji untuk menyelesaikan semuanya sebelum akhirnya buletin siap cetak dan bentuk jadinya akan kami tunjukkan dulu pada pembina KIR untuk meminta persetujuan. Rangkaian acara makan baso selesai tepat pukul 16.00.

Sesampainya di rumah, aku lelah...sekali. tapi tak menyurutkan niatku untuk segera shalat ashar. Keburu malas, pikirku. Usai shalat ashar, dengan masih menggunakan seragam sekolah, aku malas-malasan di tempat tidur ibu sambil membaca novel yang semalam baru selesai aku baca setengahnya. Ibu sibuk dengan masker yang melumuri wajahnya. Ia bersihkan masker itu dengan hati-hati. Tapi tiba-tiba, ibu mengoleskan sesuatu yang dingin ke wajahku. Sontak aku bergidik. “apaan sih itu?” tanyaku. “pembersih muka,” jawab ibu. Aku pura-pura tak peduli, melanjutkan bacaanku yang makin asyik. Ibu juga masih melanjutkan ritual pembersihan wajahku dengan serangkaian pembersih wajah yang dimilikinya, termasuk minyak zaitun yang aku tak suka wanginya. Hingga akhirnya, masker itu nempel juga di wajahku. Ya, ibu melumuri wajahku dengan masker, biar kenceng katanya. Aku menurut saja, toh tidak mengganggu kegiatan membacaku. Tak sadar, aku tertidur karena terlalu lelah mungkin. Aku mulai tersadar ketika ibu hendak membersihkan maskerku yang sudah mengering. Kesadaranku tak bertahan lama. Selesai dibersihkan, aku tertidur lagi. Dan bangun sekitar satu jam setelahnya. Lalu aku meluncur k kamar mandi untuk mengambil wudhu dan kemudian shalat ashar. Selesai shalat, aku ganti pakaian dan kembali menekuni novelku. Dan hingga beberapa jam lalu, kegiatanku masih saja itu. Haha... entah jam berapa aku bisa tidur malam ini.

:)


Ditulis pada: 30 september 2009, pukul 23.15.

0 respon terhadap ocehan si bocah:

Posting Komentar

Daisypath

Pembaca Catatan Kecil