Malam ini tak berbeda dengan malam kemarin, tetap tak ada satu pun bintang yang dapat kulihat dari atas sini. Ya…aku selalu menanti bintang-bintang itu di sini. Sebuah tempat terindah di mana hanya aku yang tau, tak ada satu pun orang yang bisa melihat tempat ini kecuali aku. Aku mengetahui hal itu ketika aku ingin menunjukkan tempat istimewa ini pada sahabatku, Vira.
“Vir, kamu lihat kan? Bintang itu bagus banget, ya?” kataku pada Vira yang terlihat bingung menatap langit yang memang kosong tak berbintang. Namun di mataku, langit itu begitu indah, bertabur bintang warna-warni yang sangat…indah.
“Bintang? Bintang apa sih, Sha? Aku nggak lihat apa-apa!”
“Masa sih, bintangnya ‘kan banyak banget, Vir, masa nggak kelihatan?” aku tetap bersikeras.
“Langit item gitu masa kamu bilang banyak bintangnya sih?”
Sejak saat itu aku tau, bahwa hanya aku yang tau tempat itu.
***
“Hai, Sha!” sapa Vira padaku yang masih setengah sadar melihat kedatangannya.
“Hai,” aku menjawabnya dengan nada malas, karena aku memang sedang malas. Bagaimana tidak, semalam aku tidur pukul tiga pagi, menanti datangnya bintang-bintang misterius itu. Akibatnya, pagi ini badanku terasa lemas sekali, dan aku merasakan kantuk yang teramat sangat.
“Sha, Fisha…kamu nggak pa-pa ‘kan? Kamu sakit? Kok kayaknya lemes banget?” tanya Vira yang cemas melihat aku langsung tertidur pulas di atas kasurku yang nyaman.
“Aku nggak pa-pa kok, Vir…aku cuma ngantuk.”
“Emang tadi malem kamu tidur jam berapa? Kok jam segini masih ngantuk?”
Aku mengangkat kepalaku dan menjawab pertanyaan Vira, “Jam tiga pagi.”
“Apa?!? Ngapain?” Vira tampak kaget.
Aku tak menjawab, terlalu malas untuk menjawab pertanyaannya, aku tertidur lagi.
“Fisha…bangun!” Vira mengguncang tubuhku, minta jawaban atas pertanyaannya.
“Kamu pasti abis liat bintang ‘kan?” tebak Vira.
“Iya.”
“Di sana nggak ada apa-apa, Sha. Aku lihat sendiri, di sana tuh nggak ada apa-apa kecuali langit hitam, apalagi bintang!”
“Kamu nggak bisa lihat bintang itu Vira, yang bisa lihat bintang itu cuma aku…” aku terbangun mendengar pernyataan Vira.
“Kamu terlalu terobsesi sama bintang, Sha. Kamu harusnya bisa lupain semua hal yang berhubungan sama bintang, karena itu cuma bikin kamu sakit, buka luka lama kamu, ngingetin kamu sama Bintang!!!”
“Bintang masih ada, Vir…dia masih ada di suatu tempat, tapi aku nggak tau itu di mana, aku bisa rasain kehadirannya setiap aku lihat bintang dari tempat itu…” aku menangis mengingat seseorang yang pernah dan masih mengisi hatiku, Bintang.
Satu tahun lalu, Bintang dan keluarganya berlibur ke New York. Namun sepulang dari New York, pesawat yang mereka tumpangi dikabarkan hilang. Sampai saat ini tak satupun korban dapat ditemukan. Hingga akhirnya, bulan lalu pencarian dihentikan, karena tak kunjung membuahkan hasil. Para penumpang pesawat tersebut dinyatakan meninggal, tak terkecuali Bintang. Aku sangat terpukul dengan kejadian itu. Sejak saat itu, aku bukan lagi gadis yang dikenal ceria dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kesiswaan di sekolah. Teman-teman sempat khawatir melihat keadaanku. Aku banyak melamun, sering pergi tanpa tujuan yang jelas. Aku sangat merindukan Bintang. Aku yakin, suatu hari dia akan pulang, hanya itu yang ada dalam pikiranku.
Satu-satunya yang membuatku senang hanya dengan melihat bintang dari tempat itu. Ketika aku melihat bintang, saat itu juga aku merasakan kehadiran Bintang. Aku merasa Bintang begitu dekat denganku, bahkan ada di sampingku, tidur di atas rerumputan hijau menatap langit penuh bintang bersamaku. Bintang, kamu di mana?
“Sudahlah Vira, kamu nggak mau ‘kan lihat aku sedih terus mikirin Bintang? Sekarang biarin aku lakuin apa yang bikin aku senang, bikin aku bisa merasakan kehadiran Bintang di sampingku…”
“Tapi, Sha…semakin kamu merasa Bintang ada, kamu malah semakin ngancurin diri kamu! Kamu seperti menanti hujan di musim kemarau!”
“Aku yakin Bintang ada, Vir…dia pasti pulang, buat aku!”
“Fisha…”Vira memelukku. Terdengar isak tangis.
“Sha…aku sayang sama kamu, aku nggak mau kamu terus-terusan nunggu Bintang. Ngarepin kehadirannya… Please Fisha… Please… Lupain Bintang. Dia udah pergi…”
“Dia ada Vir…dia ada!” aku ikut menangis.
Kami berdua terdiam cukup lama, yang terdengar hanya detak jam dinding berbentuk hati yang tergantung di dinding kamarku yang bercat biru, warna kesukaanku dan Bintang.
“Maafin aku, Sha…Aku nggak bermaksud bikin kamu sedih,” ucap Vira kemudian.
“Aku kangen Bintang, Vir……” aku menangis lagi di pelukan Vira.
“Iya, aku tau, aku juga kangen sama dia…”
“Aku nggak mau kehilangan dia…!”
“Sha…Tuhan mengambil Bintang, mungkin karena dia sayang sama Bintang, dan dia mau Bintang cepat kembali ke sisinya,” kata Vira bijak.
“Kalo gitu, Tuhan nggak sayang sama aku? Kalo Tuhan sayang sama aku, kenapa Tuhan nggak ngambil aku?”
“Tuhan menunjukkan rasa sayang pada makhluknya dengan cara yang berbeda, coba deh kamu inget nikmat yang udah Tuhan kasih, bukankah itu semua wujud kasih sayangnya sama kamu?”
Aku berpikir sebentar, yang Vira bilang memang benar, Vira saja bisa sebijak itu, kenapa aku nggak?
“Makasih, ya, Vir…aku nggak tau gimana jadinya aku kalo nggak ada kamu…”
Ya, aku memang sudah bisa menerima kepergian Bintang. Namun…entah kenapa setiap aku melihat bintang-bintang dari tempat itu, aku selalu merasakan kehadirannya, ia serasa begitu dekat.
***
Malam ini berbeda dengan malam sebelumnya, bintang-bintang di tempat ini banyak sekali, dan sangat indah. Kehadiran Bintang makin terasa. Aku merasa ia ada di sampingku, menemaniku melihat Bintang dari tempat ini. Aku menoleh, melihat ke samping tempatku merebahkan tubuh, dan tebak apa yang aku lihat. BINTANG! Dia ada di sampingku, tiduran di atas rumput hijau menatap langit penuh bintang bersamaku, di sampingku! Aku kaget, sampai-sampai tak mampu berkata. Aku terus memperhatikannya yang tersenyum sambil melihat bintang. Aku tak percaya ini nyata, aku meyakinkan diriku bahwa ini hanya halusinasi. Namun ini nyata, begitu nyata. Di luar akal sehat.
Kini Bintang mengalihkan pandangannya ke arahku, ke mataku tepatnya. Ia menatapku dengan senyum yang sedari tadi masih terukir di wajah lembutnya. Bintang memang tampan, kulitnya putih pucat, wajahnya lembut, bibirnya tipis dan merah semerah darah. Matanya biru sebiru lautan, seperti mamanya yang berdarah Eropa, dengan bulu mata lentik, halis tebal, dan hidung mancung, warisan dari papanya yang asli Timur Tengah. Ya…dia memang sangat…sangat…tampan, akupun tak pernah mengira bisa jadi bagian dari hatinya.
Kami masih berpandangan. Aku tak tau harus berbuat apa. Aku bingung dengan keadaan ini. Bintang di depanku, menatapku. Oh Tuhan…apa ini nyata? Atau hanya mimpi? Jika ini mimpi, aku mohon jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini Tuhan…jangan pernah bangunkan aku sampai kapanpun. Aku ingin terus di sini, bersama Bintang.
“Nafisha…” ucapnya.
Suara itu. Lama sekali aku tak mendengarnya. Suara lembut itu.
Aku masih tak berkata-kata. Bintang menatapku dengan mata indahnya.
“Bintang…” kataku akhirnya. Ingin sekali ku memeluknya, walaupun sebentar.
Seperti tahu isi hatiku, ia mendekat padaku. Memegang pundakku. Dan mendekapku dengan sayang. Aku mendengar tangis. Tangisku sendiri. Akibat rasa rindu yang terpendam terlalu lama. Tak lama kemudian, Bintang melepas pelukannya.
“Aku akan selalu ada selama aku ada di hatimu, dan kehadiran bintang-bintang ini adalah tanda kehadiranku,” ucapnya perlahan.
“Tapi…kenapa baru sekarang kamu ada bersamaku? Padahal, kamu nggak pernah sedetikpun pergi dari hatiku,” aku berusaha meyakinkannya.
“Aku juga nggak tau, tiba-tiba sekarang aku ada di sini, dan yang aku tau cuma, jika aku masih ada di hatimu, aku akan ada di sampingmu.”
Kami diam.
“Bintang…kamu pasti pulang ‘kan?” tanyaku padanya yang tak lepas menatap mataku.
Bintang diam, namun tetap tak berkedip menatapku.
Akupun ikut diam dan yang kulakukan hanya terus memandang wajahnya. Wajah yang sangat aku rindukan.
“Kenapa kamu nggak jawab pertanyaanku, Bintang?” aku mendesaknya.
“Aku……” Bintang tampak ragu menjawab pertanyaan yang aku lontarkan.
“Aku kangen kamu, Bintang…” kataku kemudian.
“Aku akan ada di sini selama aku ada di hati kamu….”
“Selalu saja itu yang kau katakan! Hanya satu yang aku tanyakan padamu Bintang…Kamu pasti pulang ‘kan?”
“Sudah malam Nafisha…Kamu harus pulang…” katanya. Kebiasaan Bintang yang tak pernah hilang, memanggilku dengan nama Nafisha, bukan Fisha, ketika dia bicara serius denganku.
“Jawab dulu, Bintang!”
“Sudahlah Nafisha…yang penting kamu tau ‘kan bahwa aku memang selalu ada di sampingmu selama aku ada di hatimu…”
Aku diam.
“Pulanglah…aku nggak mau kamu sakit…” ujarnya.
Ia mengelus lembut rambutku dengan sayang. Akupun pulang, sesuai dengan permintaannya.
Hari-hari berikutnya, aku tak pernah datang ke tempat itu lagi, meskipun sebenarnya aku sangat ingin pergi ke sana, bertemu Bintang. Namun, ada banyak hal yang membuatku tak bisa lagi pergi ke sana, tugas-tugas yang diberikan guru-guru di sekolahku membuatku lupa akan Bintang.
Hingga beberapa minggu kemudian, aku datang lagi ke tempat itu, berharap bisa bertemu Bintang. Aneh, tak ada satupun bintang yang bisa aku lihat. Kehadiran Bintangpun tak dapat aku rasakan. Ia tak di sini. Di mana Bintang? Bukankah ia selalu di sini?
Lama…aku menunggu, namun bintang-bintang yang aku nanti tak jua terlihat, kehadiran Bintangpun tak juga kurasakan. Akhirnya aku ingat satu hal yang pernah dikatakan Bintang pada pertemuan kami tempo hari. Bintang akan ada di sini selama dia ada di hatiku. Sebuah pertanyaan melintas dibenakku. Apakah aku sudah melupakan Bintang? Malam semakin larut. Aku memilih pulang, banyak tugas yang harus aku kerjakan esok hari.
***
Pagi harinya, ketika aku sedang membuat sarapan, sebelum berangkat sekolah, aku melihat siaran berita di televisi.
“Kemarin malam, pesawat Boeing 747 yang berangkat dari New York menuju Indonesia yang satu tahun lalu dikabarkan hilang, telah ditemukan di sekitar Pegunungan Alpen. Pesawat diperkirakan melakukan pendaratan darurat ketika terjadi badai besar yang akhirnya membawa pesawat naas tersebut menuju wilayah sekitar pegunungan Alpen. Tak satupun penumpang yang dapat ditemukan…”
Aku mematikan televisi. Aku tak sanggup mendengarnya. Aku tak sanggup menerima kenyataan bahwa Bintang memang sudah tak ada. Ia hanya ilusiku…hanya mimpiku…imajinasiku…
Bintang…apa kamu juga pergi dari hatiku?
Aku mencari jawaban dari pertanyaanku. Malamnya, aku datang lagi ke sana, ke tempatku dapat bertemu Bintang. Malam ini tak sama dengan malam kemarin. Bintang yang kulihat malam ini sama seperti bintang yang aku lihat pada malam aku bertemu Bintang.
Seperti biasa, aku merebahkan tubuhku di atas rerumputan hijau yang terhampar luas di tempat itu. Aku menunggu Bintang. Ternyata benar, perasaan itu datang lagi, perasaan bahwa Bintang ada di sampingku. Aku menoleh. Ya…Bintang ada di sana, seperti waktu itu, dia tiduran di atas rumput, memandang langit sambil tersenyum. Di sampingku.
“Kenapa kamu nggak ada di sini kemarin?” tanyaku padanya, tanpa sedikitpun melepaskan pandanganku dari langit.
“Karena kamu melupakanku…”
“Aku nggak pernah melupakan kamu…tapi…”
“Perasaanmu yang mengatur kehadiranku…karena aku nggak ada di duniamu.”
“Jadi…”
“Aku bukan Bintang yang dulu, aku hanya mimpimu…Tapi aku bukan halusinasimu…Aku nyata bila kau ingin aku ada…”
Aku menatap mata indahnya, mata birunya. Diam-diam, aku berjanji pada diriku, aku akan selalu menjaga Bintang agar tetap di hatiku, aku tak akan membiarkannya pergi lagi.
Bintang…kamu akan ada selama bintang masih ada…